ABDURRAHMAN
SIDDIK AL BANJARI
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata
Kuliah: Pemikiran Modern Dalam Islam
Pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
2011/2012
Disusun
Oleh:
Iwan Ridwan Maulana
(1410110057)
Dosen Pengampu:
Iwan Ahenda, M.Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
SYEKH NURDJATI
CIREBO
N
|
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Segala puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, karena atas
berkat, rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya lah sehingga dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah
Dengan Judul “Abdurrahman Siddik Al Banjari” sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun sebagai syarat melengkapi tugas mandiri akhir Semester IV tahun ajaran 2011/2012. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak
Iwan Ahenda, M.Ag yang selama satu semester sudah membimbing pada mata kuliah
Pendidikan Modern Dalam Islam.
2. Pihak-pihak
yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan
tugas makalah ini.
Sebagai penulis, mengaku bahwa “tak ada gading yang tak retak”, oleh
karena itu, sumbang saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa kami
harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan. semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Akhirul kalam ... wabilahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Cirebon, 6 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar
Belakang.................................................................................. 1
BAB II Abdurrahman Siddik Al Banjari
A. Riwayat
Hidup Abdurrahman Siddik Al Banjari................................... 3
B. Pemikiran
Abdurraman Siddik Al Banjari........................................... 9
BAB III Penutup
A. Kesimpulan........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
I.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perjalanan sejarah Islam di Indonesia
melibatkan peran dan fungsi kaum ulama. Bahkan perjalanan sejarah nasional pun
tidak terlepas dari peranan yang mereka mainkan. Di antara mereka, ada yang
bergerak secara aktif sebagai da’i menyebarluaskan Islam, sehingga agama ini
menjadi anutan mayoritas penduduk Nusantara. Dimasa-masa perjuangan melawan
penjajahan, mereka terkenal pula sebagai pejuang-pejuang tangguh dan ulet. Di
samping itu ada pula yang tekun mengabdikan diri sebagai ulama tulen dengan
bobot kealiman dan tingkat intelektualitas yang memadai.
Adalah Syeikh Abdurrahman Siddik lahir di Kampung Dalam Pagar,
Martapura, Kalimantan Selatan, tahun 1284 H / 1857 M.[1]
Seorang ulama pada masanya yang kiprah dan debut keulamaannya berawal dari
pengajarannya kepada masyarakat Pulau Bangka. Nama lengkapnya adalah Syeikh
Abdurrahman Siddik bin Muhammad Afif bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari.
Dilihat dari keturunan ayahnya ia masih termasuk keluarga sultan Banjar.
Ibunya, Safura binti Syeikh Haji Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad As’ad,
adalah cucu Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sosok Syeikh ini sangat melekat di hati dan kalangan masyarakat
perkampungan di pulau Bangka hingga sampai saat ini. Diantara salah satu
apresiasi masyarakat kepulauan Bangka Belitung kepada Syeikh Abdurrahman Siddik
adalah penggunaan nama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri dengan menisbatkan
kepada nama Syeikh Abdurrahman Siddik, sehingga jadilah nama STAIN ini dengan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syeikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
atau disingkat dengan STAIN SAS BABEL. Dan disamping itu, karya-karya beliau
yang berupa kitab-kitab yang bertuliskan dengan aksara Arab Melayu banyak
digunakan dan dipelajari oleh masayarakat Bangka Belitung. Melalui keturunannya
dan penerus lisannya maka kemudian pengajaran kitab-kitab Syeikh ini terus
eksis diajarkan kepada masyarakat di Pulau ini hingga sampai sekarang.
Dalam konteks perkembangan Islam di daerah Bangka, Propinsi Bangka
Belitung, kiprah ulama ini masih meninggalkan jejak yang tak ternilai, baik
yang berwujud tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat maupun
yang berupa karya yang masih digunakan dalam penyebaran agama atau disimpan
oleh anggota masyarakat. Beliau adalah tokoh yang berperan besar dalam
membangun dan melestarikan networks antara Bangka dan Banjar dalam hal tradisi
keagamaan. Hingga saat ini, telah terjadi reorientasi belajar agama ke Banjar
dikalangan sejumlah anggota masyarakat Bangka dan mendirikan atau mengelola
lembaga pendidikan Islam model Banjar. Hal ini dikarenakan oleh ketokohan
ulama-ulama Banjar di pulau Bangka memiliki nilai dan perhatian tersendiri bagi
masyarakat di pulau ini. Disamping karena memiliki ciri khas melayu yang sama,
namun lebih dari itu sosok Syeikh Abdurrahman Siddik ini masih tersimpan dalam
collective memory pada sebagian masyarakat Bangka.
Dalam agama Islam, ulama adalah waratsah al-anbiya’ (pewaris para
Nabi) yang dianggap sebagai kelompok yang menggantikan kedudukan Nabi dalam
urusan keagamaan. Pertumbuhan dan perkembangan Islam dalam suatu daerah tidak
bisa dilepaskan dari peranan ulama sebagai elit keagamaan yang menjadi rujukan
bagi masyarakat dalam masalah-masalah keagamaan. Singkatnya, siapapun tidak
akan mampu memahami perkembangan Islam disuatu wilayah dan masyarakat muslim
tertentu tanpa memahami ulama, pandangan dan karya-karyanya.
Maka Kemudian seorang syeikh, kyai atau ulama dipandang memiliki
kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai
dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan
pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan
simbol-simbol kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan,
berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada
Allah. Karena itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, disini penulis ingin mengangkat sosok Syeikh
Abdurrahman Siddik, peranan dan hubungannya dengan kondisi sosial kegamaan
masyarakat kepulauan Bangka pada waktu itu hingga saat ini dan sedikit mengnai pemikiran Abdurrahman Siddik Al
Banjari.
II.
Abdurrahman Siddik Al Banjari
A.
Riwayat Hidup Syeikh Abdurrahman
Siddik Al Banjari
Pada umumnya, ulama berperan dalam bidang pendidikan, dakwah dan
sosio kultural. Ulama memberikan pengajaran, pendidikan dan bimbingan keagamaan
kepada masyarakat baik secara individual maupun secara institusional melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah. Lebih dari itu, bahwa pandangan dan
fatwa ulama selanjutnya dijadikan pedoman bagi pengikutnya dalam bersikap dan
bertindak. Demikian juga halnya dengan sosok seorang ulama yang akan penulis
ketengahkan ini.
Syeikh Abdurrahman Siddik bin Muhammad Afif bin Mahmud Jamaluddin
al-Banjari, lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan tahun
1284 H., atau 1857 M. adalah salah seorang ulama yang kiprah dan peran
keulamaannya banyak dilakukannya diluar tanah kelahirannya. Setelah menamatkan
studynya di Mekah, maka ia memang pertama kali kembali ke kampung halamannya,
Martapura Kalimantan Selatan. Untuk beberapa waktu yaitu kurang lebih selama
delapan bulan ia tinggal didaerah ini, yang sebagian besar kegiatannya
digunakannya untuk bersilaturrahmi ke famili dan kerabatnya, ziarah ke makam
keluarga serta berdiskusi dengan ulama Kalimantan Selatan.[2]
Debut keulamaannya berawal dan berkembang ketika beliau menetap di
pulau Bangka. Dikatakan bahwa Syeikh Abdurrahman Siddik sangat memperhatikan
dakwah Islamiyah ke daerah-daerah pedalaman yang masih minim pengetahuan
agamanya dan sangat mengharapkan bimbingan dan pendidikan Islam. Dalam
masyarakat Bangka ketika itu masih berkembang praktek-praktek yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam sehingga barangkali inilah yang menjadi salah satu
alasan bagi Syeikh Abdurrahman Siddik untuk melaksanakan dakwah di pulau
tersebut.[3]
1.
Peran Keulamaannya di Pulau Bangka
Awal kedatangannya ke pulai ini, tepatnya di Muntok tempat dimana
ayahnya menetap. Di daerah ini, ia meneruskan mengajar kitab-kitab yang
diajarkan oleh ayahnya. Ternyata, berkat pengalaman mengajarnya di Mekah dan
diskusi dengan para ulama di berbagai tempat ia dapat menjelaskan isi kitab
dengan baik dan menarik sehingga hal ini menyebabkan bertambahnya peserta
pengajian.
Tidak kurang dari dua belas tahun Syeikh Abdurrahman Siddik
bermukim di pulau ini dan giat menjalankan kegiatan dakwah dan pendidikan
Islam. Selama di pulau ini ia pada mulanya menetap di Muntok (Bangka Barat)
tetapi kemuian tinggal di beberapa kota dan desa di Bangka dan di tempat-tempat
tersebut ia menikah. Ia mengunjungi sejumlah desa untuk memberikan bimbingan
dan pendidikan kepada masyarakat. Pusat pendidikan dan dakwahnya adalah masjid
dan rumah penduduk. Penekanan utama dakwahnya adalah pada pemurnian aqidah
Islam atau tauhid, karena Islam sebagaimana diketahui adalah merupakan agama
(al-Diin), dengan sistemnya yang utuh, mengandung konsep yang menyeluruh (the
total concept)[4] untuk
mengarahkan keyakinan, iman serta perilaku manusia penganutnya untuk memenuhi
hakikat dan tujuan hidupnya, yaitu mengabdikan diri kepada Allah SWT semata.
Prinsip pengabdian kepada Allah semata itu, secara mendasar lahir dari ajaran
yang sangat esensial dan fundamental sifatnya dalam Islam, yaitu ajaran tauhid.
Suatu monoteisme murni yang ketat dan tidak kenal kompromi.[5]
Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya
adalah berupa dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam.
Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam
itu sendiri yang mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya.
Konsep tauhid yang pertama kali diajarkannya ketika itu kepada masyarakat
adalah sangat tepat sekali, mengingat pada masa itu berkembang praktek-praktek
takhayul dan syirik yang bertentangan dengan ketauhidan.[6]
Melalui dakwah tersebut Syeikh Abdurrahman Siddik bermaksud menyadarkan
masyarakat tentang pentingnya jalan bertauhid kepada Allah. Meskipun harus
menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dari berbagai pihak termasuk dari
guru-guru ilmu kebathinan, Syeikh tetap giat menjalankan dakwahnya.[7]
Peran dakwah dan keulamaannya berlangsung hampir disemua tempat di
Pulau Bangka pernah disinggahi dan diadakan pengajaran dan pendidikan. Kegiatan
dakwah tersebut dilakukannya ke beberapa wilayah di pulau Bangka, pertama
sekali berpusat di Muntok (Bangka Barat), kemudian dilanjutkan di Belinyu
(Bangka Induk) selama dua tahun. Dari Belinyu kemudian ia memberi pengajian di
daerah Sungai Selan, setelah dari daerah ini ia melanjutkan dakwahnya ke
Pangkal Pinang (Ibukota Provinsi sekarang), lalu ia menetap di Petaling sekitar
tiga tahun. Selanjutnya ia mengajar di Payabenua dan Mendo dengan cara pulang
pergi, kemuian selanjutnya ia berdakwah di daerah kemuja lebih kurang tiga
tahun, lalu ke Puding Besar selama satu tahun dan menyempatkan ke Kotawaringin.
Lokasi dakwahnya yang terakhir di Bangka adalah di Kundi. Akhirnya ia kembali
lagi ke Muntok. Kemudian pada fase berikutnya, kegiatan keulamaannya berpusat
di Sapat, Indragiri Riau, setelah berhijrah dari Pulau Bangka.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa Syeikh Abdurrahman
Siddik telah menjalankan peranannya sebagai ulama dalam pengertian yang
sesungguhnya. Ia adalah pengajar dan pendidik yang memberikan pendidikan dan
bimbingan agama kepada masyarakat, khususnya Bangka dan Indragiri. Kalau di
Bangka pendidikan dan pengajarannya berpusat di masjid dan rumah-rumah
penduduk, di Indragiri ia berhasil mendirikan dan memimpin lembaga pendidikan
Islam seperti pesantren di Jawa.[8]
Selain itu, ia adalah seorang da’i yang giat melakukan kegiatan dakwah kepada
masyarakat baik di Bangka maupun di Indragiri.
2.
Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Bangka
Penduduk pulau ini beraneka ragam etnik dari seluruh Indonesia .
Mata pencaharian penduduk, ± 66% masih tergantung pada lahan pertanian.
Penduduk asli Pulau Bangka memiliki karakter tersendiri yang terbentuk dari
pengaruh lingkaran agama dan budaya. Sebagian besar penduduk beragama Islam di
samping Kristen, Hindu, Budha dan Kong Fhu Chu dengan kategori Islam 60 %,
China 30 %, selebihnya adalah agama-agama lain yang diakui di Indonesia.
Pengaruh dari ajaran yang dibawa oleh Syeikh Abdurrahman Siddik di
wilayah ini tentunya sedikit banyak telah merubah paradigma keagamaan dan sosio
kultural masyarakat sekitarnya. Hal ini terlihat dari masih digunakannya
kitab-kitab Syeikh dalam beberapa pengajian atau majelis bahkan mayoritas
setiap pengajian yang diadakan di masjid atau di rumah-rumah penduduk
menggunakan kitab Syeikh. Dari tempat-tempat pengajian ini, maka kemudian
masyarakat bisa mendapatkan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan agama
mereka, lebih jauh selain itu adalah bahwa pola pikir masyarakat sudah berubah
dan berkembang melalui pengajaran dan pendidikan yang disampaikannya.
Terlihat lagi dari kultur budaya dan tradisi masyarakat dalam
melaksanakan beberapa ritual ibadah, yang pada awalnya masih mempercayai
mistisisme dan khurafat sehingga lambat laun kepercayaan ini bisa terkikis dan
berkurang, fenomena ini terjadi setelah pengajaran, pendidikan dan dakwah yang
dilakukan oleh Syeikh Abdurrahman Siddik. Kemudian selanjutnya, dikarenakan Syeikh
dalam menyampaikan pengajaran dan pendidikan agama Islam adalah seutuhnya
mengikuti ahli sunnah wal jama’ah, maka kemudian tradisi keagamaan dalam
masyarakat Bangka hingga saat ini adalah representasi dari kultur budaya dan
tradisi keagamaan yang dilakukan oleh ahl nahdiyyin (NU) walaupun tidak
sepenuhnya duplikasi dari apa yang mereka lakukan. Hal ini tercermin dari
ritual yang dilakukan ketika terjadi musibah kematian pada masyarakat Bangka.
Maka, yang dilakukan adalah melaksanakan proses tahlilan selama tujuh hari
tujuh malam dengan penyediaan beberapa makanan dan minuman bagi jama’ah tahlil
yang hadir, kemudian selanjutnya diteruskan dengan ritual dua puluh lima hari,
empat puluh hari, seratus hari hingga tahunan (atau setahun sekali di lakukan
kembali proses tahlilan tersebut).
Kultur budaya religi seperti ini sangat kental dan melekat sekali
pada kehidupan sosial masyarakat di pulau Bangka. Efek atau bias dari
pengajaran, pendidikan dan dakwah Syeikh Abdurrahman Siddik, sangat dirasakan
sekali oleh masyarakat di daerah ini, bukti konkrit dari rasa haus tentang
pengetahuan agama Islam di wilayah ini yaitu terus di ajarkan dan di pakai
kitab-kitab Syeikh pada setiap pengajian masyarakat yang diadakan baik di
masjid maupun di rumah-rumah warga. Kemudian hal ini menjadikan kondisi sosial
keagamaan masyarakat Bangka semakin kuat dan tetap berpegang kepada ajaran
Islam, meskipun penduduk di pulau ini lebih dari 30 % adalah di huni oleh etnis
china, penduduk yang beragama Islam 60 % dan selebihnya adalah di huni oleh
penganut agama yang lain.
3.
Hubungan Emosional dan Sosial Antara Syeikh Abdurrahman Siddik
dengan Masyarakat Bangka.
Dilihat dari fakta sosio historis dan akademis, Syeikh Abdurrahman
Siddik merupakan salah seorang figur ulama yang pantas menjadi teladan
bagaimana seorang ulama mampu berpartisipasi dalam membina masyarakat kearah
yang lebih baik. Adalah fakta bahwa dalam masyarakat Bangka Belitung, ketokohan
Syeikh Abdurrahman Siddik sangat mengakar. Hampir di banyak daerah dapat
ditemukan karya-karya tulis dan murid-murid atau murid dari murid-muridnya yang
masih aktif meneruskan pemikiran Syeikh ini. Secara akademis, ketokohan ulama
ini terus dikaji dalam bentuk berbagai jenis karya ilmiah dengan beragam
tingkat dan bobotnya.
Sejak tahun 1898, Syeikh Abdurrahman Siddik mulai bermukim di
Bangka untuk mengembangkan ilmunya, berdakwah sambil menulis kitab. Sejak
pertama kali ini sudah mulai nampak keterikatan dan kebutuhan masyarakat Bangka
kepadanya. Dan selama hampir beberapa lama yakni tidak kurang dari dua belas
tahun Syeikh bermukim dipulau ini, dengan hidup berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain untuk mengajar dan menyampaikan dakwah kepada
masyarakat dengan menjelajahi sampai ke pelosok-pelosok pulau tersebut yang
sasaran dakwahnya adalah aqidah, karena pada masa itu berkembang percampuran
ilmu tauhid dengan ilmu kebathinan yang merusak aqidah.[9]
Apalagi tekhnis dan proses pengajarannya adalah dari masjid ke masjid, dari
rumah-ke rumah maka hal inilah yang membuat dan mempererat hubungan antara
masyarakat dengan Syeikh. Sampai saat ini figur Syeikh Abdurrahman Siddik tetap
masih melekat dan tersimpan dalam collective memory sejumlah anggota masyarakat
Bangka.
Wujud terjalinnya hubungan emosional antara Syeikh dan masyarakat
Bangka termanifestasi dengan diteruskannya pengajian, pengajaran dan pendidikan
yang dilakukan oleh muridnya atau murid-murid dari muridnya dengan memakai
kitab-kitab karangannya, lebih dari itu hubungan tersebut terformalisasikan
dengan penggunaan nama Syeikh Abdurrahman Siddik bagi Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Bangka Belitung yang hingga saat ini merupakan
satu-satunya perguruan tinggi negeri di provinsi keplauan ini.[10]
Hubungan sosial kemasyarakatan Syeikh selama bermukim di Bangka diwujudkan
dengan jalan menikah kepada warga dimana ia tinggal, seperti di Muntok wilayah
Bangka Barat. Kemudian ia juga mempelopori pembukaan hutan untuk perkebunan
kelapa ketika ia bermukim di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri untuk
meningkatkan taraf ekonomi, tingkat pendidikan dan keberagamaan masyarakat.[11]
Berkenaan dengan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam menegakkan syi’ar Islam bersama Syeikh di daerah
kepulauan ini terealisasi dengan tetap dilaksanakannya proses pengajaran dan
pendidikan ditengah-tengah banyaknya tantangan. Dan kini melalui lisan-lisan
penerus perjuangannya dalam menegakkan ajaran Islam masih tetap berlangsung
eksis dilakukan meskipun di tengah-tengah era globalisasi dalam setiap relung
ruang kehidupan. Secara umum, hubungan emosional dan sosial masyarakat Bangka
tetap termanifestasi dalam setiap aspek kehidupan beragama masyarakat di
kepulauan ini, terlebih di daerah pedesaan dan perkampungan.
B.
Pemikiran Abdurrahman Siddik Al Banjari
Dalam pemikiran Abdurrahman Siddiq Al
Banjari tidak seperti halnya pemikiran-pemikiran modern tokoh Indonesia yang
mendapatkan kontroversi dari khalayak masyarakat. Pemikiran dari Abdurrahman di
terima hangat oleh masyarakat, sebagai mana terlihat dalam penghargaan
masyarakat kepada Abdurrahman dalam pembahasan sebelumnya.
Dari berbagai pemikiran Abdurrahman salah
satu dari berbagai pemikiranya yang terdapat pada karyanya Amal Ma’rifah dan
Syajaratul Arsyadiyah[12]
Latar belakang ditulisnya kitab Amal Ma’rifah ini berangkat dari
banyaknya orang yang menuntut ilmu ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari
ilmu-ilmu “kesempurnaan” dalam rangka mencapai martabat seorang muslim yang
betul-betul taat kepada Allah SWT. Namun pada saat itu banyak aliran kalam dan
tasawuf yang cenderung menyimpang, karena tidak menempatkan porsi syariat
secara benar sehingga masyarakat cenderung menjadi fatalis (Jabari), disebabkan
para tokohnya yang tidak memiliki dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada
khayalan dan alam kebatinan saja. Untuk itulah kitab Amal Ma’rifah dapat
menjembatani dan menjadi arah bagi orang-orang yang mencari kesempurnaan
keimanan kepada Allah SWT.
Di daerah Kalimantan Selatan pun diduga ada pandangan masyarakat
yang cenderung menyimpang dari ajaran kitab tersebut. Hal ini kemungkinan
disebabkan cara orang dalam memahami kitab ini terlalu tekstual dan
sepotong-sepotong. Memang di dalam kitab ini ada beberapa ajaran tasawuf yang
cenderung menyatukan antara Khalik dengan makhluk, antara lain pernyataan yang
menegaskan bahwa semua perbuatan manusia harus dipandang dengan matahati dan
matakepala disertai i’tikad bahwa peristiwa yang terjadi di alam ini adalah
semata-mata perbuatan Allah.
Pemahaman terhadap materi kitab yang tidak menyeluruh, berakibat
banyak pandangan yang menyimpang dari inti kitab ini. Sebagaimana terungkap
dalam seminar “Pemantapan Tasawuf di Kalimantan Selatan” tahun 1985 dan seminar
“Pemantapan Pengajian Tasawuf Sunni di Kalimantan Selatan” tahun 1986, banyak
peserta seminar menilai bahwa kitab beliau tersebut beraliran Wahdat al-Wujud.[13]
Ketidaktahuan dalam memahami ajaran atau gagasan suatu kitab, dapat
merusak ketauhidan dan paham tasawuf seseorang. Oleh karena itu, isi kitab
tersebut perlu dikaji lebih menyeluruh lagi, sehingga diperoleh kejelasan yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan terhindar dari kesalahan dalam memvonis
ajaran seorang ulama.
Dalam kitab Amal Ma’rifah nampaknya bahwa Syekh Abdurrahman Siddiq
mengemukakan tentang konsep tauhid dan sufistik yang bernuansa Akhlaki/Amali
paling jauh sampai kepada wahdat al-syuhud, akan tetapi tidak sampai kepada
wahdat al-wujud meskipun ada sejumlah ungkapan yang mendekati ke arah itu. Hal
ini karena pada saat itu setting sosial masyarakat banyak diwarnai paham wahdat
al-wujud, yang terlihat dengan banyaknya ajaran-ajaran yang mengarah kepada
paham tersebut.
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Syeikh Abdurrahman Siddik yang hidup pada parohan abad ke 19 dan
parohan awal abad ke 20 M (1857-1939) merupakan seorang ulama Indonesia, yang
telah ikut berkiprah membaktikan dirinya menjalankan tugas keulamaannya di
tengah-tengah masyarakat. Dengan menyadari fungsi dan perannya sebagai ulama,
ia berusaha menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai cara baik
itu melalui dakwah, mengajar, bersosialisasi dengan masyarakat bahkan melalui
media yang berupa pamflet-pamflet tulisannya dan karya-karyanya berupa
kitab-kitab karangannya.
Kegiatan dan perjuangan keulamaannya secara umum boleh dikatakan
berorientasi kepada usahanya untuk menanamkan nilai-nilai Islam pada masyarakat
yang sekaligus ia tujukan untuk membongkar dinding-dinding kebodohan, keterbelakangan,
dan kemiskinan. Dalam rangka itulah ia sebagaimana terlihat, selain giat di
bidang pendidikan dengan memimpin dan mengasuh lembaga-lembaga pendidikan agama
Islam yang didirikannya, seperti madrasah di Bangka, dan pesantren di
Indragiri, Riau. Disamping itu, ia berusaha keras langsung terjun memberikan
contoh yang dapat membangkitkan etos kerja, taraf hidup bangsanya di bidang
ekonomi.
Nilai-nilai agama Islam yang dianggap masyarakat melekat pada diri
ulama, seperti halnya juga pada Syeikh Abdurrahman Siddik ini, memberikan
peluang kepadanya untuk menjadi titik panutan dan sekaligus pula pemimpin
informal yang dihormati masyarakatnya. Dia merupakan tempat masyarakat bertanya
dan tempat mereka mendapatkan legitimasi dan penyelesaian terhadap berbagai masalah
keagamaan dan kehidupan yang mereka hadapi.
Dengan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan keterbatasan
Syeikh Abdurrahman Siddik sebagai seorang ulama yang banyak bergerak di daerah
pedesaan, ia dapat digolongkan sebagai tokoh yang kepiawaiannya tidak hanya
terlihat dari bobot kepemimpinannya yang cukup kharismatik dalam masyarakatnya,
tetapi juga pada kerja intlektualnya yang telah menghasilkan karya dalam
berbagai cabang ilmu agama Islam. Dalam kaitan ini tidak berlebihan jika Deliar
Noer mengungkapkan bahwa ulama di desa ada juga yang dapat di pandang sebagai
orang yang mempunyai posisi ambiguiti ; intelektual dan agama.[14]
Dari uraian diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa Syeikh
Abdurrahman Siddik adalah sosok ulama yang dekat dengan masyarakat yang memliki
rasa sosial yang tinggi, selain itu ia adalah tempat tumpuan masyarakat dalam
memecahkan problema tentang masalah-masalah keagamaan. Sehingga kemudian, yang
terjadi pada saat ini dapat disebutkan bahwa secara kuantitas masyarakat Bangka
dapat merasakan hasil perjuangan Syeikh ini dalam memperjuangkan dan
menyebarkan praktek agama kepada masyarakat kepulauan ini dan kondisi sosial
keagamaan masyarakat Bangka dapat meningkat mulai dari pelosok-pelosok daerah
sampai ke masyarakat perkotaan dan hampir di seluruh wilayah kepulauan ini.
Dengan terjadinya proses interaksi dan sosialisasi yang akrab dilakukan Syeikh
Abdurrahman Siddik terhadap masyarakat, dapat dilihat bahwa hampir seluruh
masyarakat Bangka mengenal dan mengetahui sosok ulama satu ini dan pada
sebagian masyarakat Bangka sosok Syeikh ini tetap tersimpan dalam collective
memory mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syafei. Riwayat Hidup dan Perjuangan Syeikh
Abdurrahman Siddik Mufti Indragiri, Jakarta: CV. Serajaya, 1982.
Harmi, Zulkifli. Dkk. Transliterasi dan Kandungan Fath al-Alim
fi Tartib al-Ta’lim Syeikh Abdurrahman Siddik, Sungailiat: Siddiq Press,
2006.
Karim, Muhammad Nazir. Dialektika Teologi Islam, Analisis
Pemikiran Kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq al- Banjari, Bandung: Penerbit
Nuansa, 1992.
Noer, Deliar. Masalah
Ulama dan Intelektual Ulama, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Siddik, Abdurrahman. Syajarat al-Arsyadiyat wa ma Ulhiqa biha,
Singapura: Mathba’ah al-Ahmadiyyah, 1356.
Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
http://tqar.wordpress.com/2011/04/21/abdurrahman-siddiq-al-banjari-ulama-indonesia-yang-mengajar-di-masjidilharam/
[1] Syafei
Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syekh H.A. Rahman Shiddik Mufti
Indragiri, Jakarta: CV. Serajaya, 1982, hlm. 19.
[2] Syafei
Abdullah, Ibid., hlm. 21
[3] Zulkifli Harmi., dkk, Transliterasi dan Kandungan Fath al-Alim
Fi Tartib al-Ta’lim Syeikh Abdurrahman Siddik, Shiddiq Press, 2006, hlm.
16.
[4] Artinya, Islam
merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik untuk
keperluan hidupya di dunia maupun untuk kepentingannya di akherat kelak (
pasrah ) dalam buku tapak sabda karya Fauz Noor di bahas lebih jauh tentang addin
[5] Muhammad Nazir Karim, Dialektika
Teologi Islam Analisis Pemikiran Kalam Syekh Abdurrahman Siddik Al-Banjari, Bandung: Penerbit Nuansa, 1992, hlm. 1
[6] Zulkifli Harmi
dkk., Ibid., hlm. 18
[7] Syafei
Abdullah, Ibid., hlm. 23
[8] Zulkifli Harmi
dkk., Ibid., hlm. 23
[12] Yusuf Halidi, Ulama
Besar Kalimantan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Surabaya: Bina Ilmu,
1984, hlm. 54.
[13] http://tqar.wordpress.com/2011/04/21/abdurrahman-siddiq-al-banjari-ulama-indonesia-yang-mengajar-di-masjidilharam/