BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu
yang di turunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril sebagai
tanda kemu’jizatan Rosulullah dan sebagai risalah bagi semua umat manusia dan
untuk di jadikan pedoman hidup mereka dan pahala bagi segenap pembacanya.
Al-Qur’an diturunkan
pertamma kali di GuhaHiro, pada saat Rosululllah sedang menyendiri, ayat yang
pertama turun adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 dan di akhiri dengan surat
Al-Maidah ayat 3.
Dalam teori turun
Al-Qur’an, ada teori bahwa turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf yang mana
pengertian tersebut mempunyai banyak pengertian dan pengertian-pengertian
tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan. Bertitik tolak pada permasalahan
tersebut kami mencoba menggabungkan beberapa pendapat tentang pengetian
Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf, yang mudah mudahan dapat membandingkan dan
mengerti tentang teori tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini kami
mencoba mencari masalah-masalah tentang:
1.
Apa dasar bahwa Al-Qur’an turun
dengan tujuh huruf?
2.
Bagaimana Perbedaan pendapat para
ulama tentang pengertian tujuh huruf?
3.
Bagaimana analisis tentang
perbedaan-perbedaan para ulama?
4.
Apa hikmah turunya Al-Qur’an
dengan tujuh huruf?
C.
Tujuan Masalah
Dalam masalah tersebut
kami mempunyai tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui dasar turunya
Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
2.
Untuk mengetahui beberapa
pendapat tentang pangertian turunya AL-Qur’an dengan tujuh huruf.
3.
Untuk mengetahui pendapat mana
yang bisa kita ambil dalam pengertian tersebut.
4.
Untuk mengetahui hikmah turunya
Al-Qur’an denngan tujuh huruf.
BAB II
TURUNNYA AL-QUR’AN DALAM TUJUH HURUF
Bangsa
Arab terdiri atas beberapa suku yang separatis di sepanjang sejarah Arab.
Setiap suku mempunyai format dialek (Lahjah) yang khas dan berbeda dengan suku
lainnya. Perbedaan corak tersebut sesuai dengan letak Geografis dan
sosio-kultural dari masing-masing suku diatas. Namun, mereka menjadikan bahasa
Quraisy sebagai bahasa bersama. Bahasa Quraisy dijadikan sebagai alat
komunikasi ketika mereka berniaga, mengunjungi Ka’bah serta melakukan
kegiatan-kegiatan bersama lainnya. Dari situlah kita bisa menarik konklusi
mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan memakai bahasa Quraisy. Secara Afirmasi
dapat kita pahami bahwa dengan perantara bahasa Quraisy, Al-Qur’an dapat
memperlihatkan kemukjizatannya ketika mereka mengenal dan mampu berbahasa
Quraisy, dan mereka akhirnya tidak mampu membuat hal yang serupa dengan
Al-Qur’an.
Ketika bahasa mereka
berbeda Lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan
tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi
Muhammad SAW, menyempurnakan kemukjizatannya karena ia mencakup semua Huruf dan wajah qira’ah pilihan di
antara Lahjah-Lahjah itu dan merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka
untuk membaca, memahami, serta menghafal. Dan mereka kiranya perlu mencakup
seluruh bahasa yang terkenal saat itu.
A.
Dasar-dasar Pengambilan Al-Qur’an
Diturunkan dengan Tujuh Huruf.
Dasar pengambilan (Istinbath)
turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf disebutkan oleh beberapa Hadits, di
antaranya berikut ini.
1.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.
sesungguhnya ia telah berkata,bahwasanya Rasulullah SAW.telah bersabda,
“Rasulullah berkata: ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku
dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf
itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan Tujuh Huruf’”.
(H.R. Bukhari-Muslim dan yang lainnya).
2.
Diriwayatkan dari Ali Ibn Ka’ab, sesungguhnya
ketika berada di pinggir sungai suku
Bani Gaffar Nabi bersabda, “Maka
datanglah Jibril kepadaku dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah
memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai satu
huruf”. Nabi menjawab, “Aku mohon
pengampunan-Nya karena umatku tidak mampu untuk menerimanya”. Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya
dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
telah memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai dua
huruf”. Nabi menjawab lagi, “Aku
mohon pengampunan-Nya karena umatku tidak mampu untuk melaksanakannya”.
Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an
kepada umatmu dengan memakai tiga huruf”. Nabi menjawab lagi, “Aku mohon pengampunan-Nya karena umatku
tidak mampu untuk melaksanakannya”. Jibril datang untuk keempat kalinya dan
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai Tujuh
Huruf”. (H.R Muslim). Hadits-Hadits
yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah
diselidiki oleh Ibn Jarir, pembukuan (Mukadimah) kitab tafsir Ibn Jarir.
As-Suyuti menyebutkan bahwa Hadits-Hadits tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam
menetapkan kemutawatiran Hadits
mengenai turunya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf.
B. Perbedaan
Pendapat Para Ulama
Term
Tujuh Huruf ini telah mengundang berbagai kontroversial yang melibatkan banyak
Ulama. Ibnu Hayyan mensinyalisir bahwa kontroversial itu sampai menghasilkan 35
pendapat Ulama. Kebanyakan pendapat itu dapat dikompromikan. Di bawah ini akan
dikemukakan enam pendapat yang berlainan antara satu dengan yang lainnya.
Pendapat pertama, yang dimaksud dengan
Tujuh Huruf adalah Lughat-Lughat suku Arab yang berjumlah tujuh. Dalam arti,
tujuh bahasa yang berbeda-beda dalam pengucapan satu makna Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah
Lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan
jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu Lafazh
atau lebih saja. Kalangan Ulama ini pun berbeda pendapat dalam menentukan
Lafazh-Lafazh tujuh itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa tujuh Lughat adalah
Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hiwazan, dan Sa’ad bin Bakar. Di samping pendapat
lagi, masih banyak lagi pendapat Ulama mengenai tujuh bahasa itu.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan
Tujuh Huruf adalah tujuh bahasa Arab yang digunakan dalam keseluruhan
Al-Qur’an. Dalam arti, Al-Qur’an tidak lepas dari bahasa itu. Yaitu bahasa yang
Fasih dikalangan bangsa Arab. Kebanyakan Al-Qur’an menggunakan bahasa Quraisy,
sedangkan sebagiannya menggunakan bahasa Hudzail, Tsafiq, Haujan, Kananah, dan
Yaman, karena itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa
tersebut. Kalau pendapat pertama mengatakan bahwa tujuh bahasa itu terdapat
pada satu makna Al-Qur’an, pendapat ini menekankan tujuh bahasa itu secara
terpisah didapatkan dalam Al-Qur’an. Berkata Abu ‘Ubaid, “Yang dimaksud
bukanlah semua kata boleh di baca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang
bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagaimana bahasa Quraisy, sebagian yang lain
bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain”. Dan katanya pula, “Sebagian
bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.
Pendapat ketiga, yang dimaksud Tujuh
Huruf itu adalah tujuh wajah, yaitu: perintah
(arm), larangan (nahy), ancaman (wa’di), argumentasi
(jadl), kisah-kisah (qishah), dan perumpamaan-perumpamaan (matsal), atau perintah larangan halal,
haram, muhkam, mutasyabih, dan perumpamaan-perumpamaan. Ibnu Mas’ud
meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa kitab-kitab terdahulu hanya membahas
satu bab dan satu huruf, sedangkan Al-Qur’an membahas tujuh bab dan tujuh
huruf, yaitu teguran (zijr) perintah;
halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan perumpamaan-perumpamaan.
Pendapat keempat, Tujuh Huruf itu adalah
tujuh bacaan. Abu Fadh Ar-Razi dalam kitabnya Al-Lawaih menerangkan bahwa ketujuh bacaan itu adalah:
1. Perbedaan Isim dalam segi format Mufrad
(singular tunggal), Mutsanna (tsaniyah), dan Jama’ (banyak).
2. Perbedaan dalam tasrif’ulaf’al (perubahan kata kerja) dari
bentuk Mudhari (future tense; present)
bentuk Madhi (past tense) dan bentuk
Amr (imperative).
3. Perbedaan dari segi Harkat.
4. Perubahan dari segi perubahan Harkat.
5. Perbedaan dari segi (naqsh)
dan tambahan (Ziyadah).
6. Perbedaan dari segi mendahulukan dan mengakhirkan.
7. Perbedaan dari segi Lughat (Lahjah), seperti fathah, imalah, tipis (Takhfif), tebal (Tarkhim),
jelas (Jaly), dan dengung (Idgham).
Pendapat kelima, Tujuh Huruf itu tidak
mengandung apa-apa, melainkan merupakan lambang orang Arab yang menunjukkan
sempurnanya sesuatu. Tujuh Huruf itu mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an dengan
memakai bahasa Arab dan susunan Arab telah mencapai derajat yang sempurna. Sebab, Lafazh sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk
menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, bilangan puluhan,
dan ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan
tertentu.
Pendapat keenam, bahwa yang dimaksud
Tujuh Huruf itu adalah Qira’ah Sab’ah.
C. ANALISIS
TENTANG PENDAPAT PENDAPAT DIATAS
Pendapat
terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat
yang pertama, yaitu bahwa yang dimaksud Tujuh Huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama.
Misalnya; Aqbil, ta’ala, Halumma, ‘Ajjil dan Asra’. Lafazh-Lafazh yang berbeda
ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap.
Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb dan lainnya.
Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar Ulama dan dalil
bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam Hadits Abu Bakrah, “Sesungguhnya Jibril telah mendatangi
Muhammad dan berkata, “Ya Muhammad! Bacakanlah Al-Qur’an kepada umatmu dengan
menggunakan satu huruf”. Malaikat Mikail menyela dan berkata, “Tambahkanlah”.
Jibril berkata, “Dengan dua huruf”. Jibril menambahnya hingga sampai enam atau
tujuh huruf. Lalu ia berkata, “Kesemuanya itu memberikan syafaat dan cukup,
tidak dicantumkan ayat Rahmat, kecuali disertakan pula ayat azab; tidak
dicantumkan ayat azab, kecuali disertakan
pula ayat Rahmat, seperti ucapan kau, Hulumma, Aqbil, Ta’la, Asri’, dan Ajjil”.
(H.R. Ahmad dan Thabrani dengan sanad baik). Dan masih banyak lagi Hadits yang
menunjukkan dan mendukung pendapat ini. Berkata Ibn Abdil Barr, “Maksud Hadits
ini hanyalah sebagai contoh bagi huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an
diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi
berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna
yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lainnya
secara Kontradiktif dan berlawanan, seperti Rahmat
yang merupakan lawan dari azab”.
Pendapat pertama ini didukung pula oleh banyak Hadits, antara lain dari Busr
bin Sa’id, “Abu Juhaim al-Ansari mendapat berita bahwa dua orang lelaki
berselisih tentang sesuatu ayat Al-Qur’an. Yang satu menyatakan, ayat itu
diterima dari Rasulullah, dan yang lain pun mengatakan demikian. Lalu keduanya
menanyakan hal tersebut kepaa Rasulullah. Maka kata Rasulullah, ’Sesungguhnya
Al-Qur’an itu diturunkan dengan Tujuh Huruf, maka janganlah kamu saling
berdebat tentang Al-Qur’an karena perdebatan mengenainya merupakan suatu
kekafiran’. Sesungguhnya Allah SWT telah menyuruh aku agar membaca Al-Qur’an
atas Tujuh Huruf”. Dari A’masy berkata bahwa, “Anas membaca ayat ini
Maka orang-orang pun mengatakan
kepadanya, ‘Wahai Abu Hamzah, kalimat itu adalah . Ia menjawab, , dan itu sama saja’”.
`Pendapat kedua yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Tujuh Huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa
Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa
kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi,
karena itumaka himpunan Al-Qur’an telah mencakupnya dan dapat dijawab bahwa
bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab
dan Hisyam bin Hakim keduanya adalah orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang
sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qira’at kedua orang itu berbeda, dan
mustahil Umar mngingkari bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya).
Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Tujuh Huruf bukanlah apa yang
mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan Lafazh-Lafazh mengenai makna yang
sama. Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan. Setelah mengemukakan dalil-dalil
untuk membatalkan pendapat kedua ini, Ibn Jarir at-Tabari mengatakan, “Tujuh
Huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek bahasa dalam satu
huruf dan satu kata karena perbedaan Lafazh tetapi sama maknanya. Misalnya, dan
lain sebagainya yang Lafazh-Lafazhnya berbeda karena perbedaan ucapan tetapi
maknanya sama, meskipun lisan berlainan dalam menjelaskannya. Tabari menjawab
pertanyaan yang mungkin akan muncul, “Di manakah kita jumpai di dalam kitab
Allah SWT satu huruf yang dibaca dengan
tujuh bahasa yang berbeda-beda Lafazh-Lafazhnya, tetapi sama maknanya?”. Dengan
mengatakan, “Kami tidak mendakwakan hal itu masih ada sekarang ini”. Ia juga menjawab
pertanyaan yang diandaikan lainnya, “Mengapa pula huruf-huruf yang enam itu
tidak ada?”. Ia menerangkan, “Umat Islam disuru untuk menghafal Al-Qur’an, dan
diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya salah satu dari
ketujuh huruf itu sesuai dengan keinginannya sebagaimana dipeintahkan. Namun
pada masa Usman keadaan menuntut agar bacaan itu ditetapkan dengan satu huruf
saja karena dikhawatirkan akan timbul fitnah (bencana). Kemudian hal ini
diterima secara bulat Umat Islam, suatu Umat yang dijamin bebas dari kesesatan.
Para
pendukung Pendapat ketiga yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Tujuh Huruf adalah tujuh macam hal
(makna), yaitu; amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal. Di
jawab bahwa zahir Hadits-Hadits tersebut menunjukkan Tujuh Huruf itu adalah
suatu kata yang dapat dibaca dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai
keleluasaan bagi umat, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal
dan haram di dalam satu ayat, dan keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan
dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu
makna dari makna-makna tersebut. Dalam Hadits-Hadits terdahulu ditegaskan bahwa
sahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi, lalu setiap
orang diminta menyampaikan bacaannya masing-masing, kemudian Nabi membenarkan
semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu
berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga keputusan Nabi ini
menimbulkan keraguan disebagian mereka. Maka bagi mereka yang masih ragu dengan
keputusan itu Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanku untuk
membaca Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf”. Kita maklum, jika perselisihan dan sikap
saling meragukan itu menyangkut tentang penghalalan, pengharaman, janji,
ancaman dan lain sebagainya yang ditujuk oleh bacaan mereka, maka mustahil
Rasulullah akan membenarkan semuanya dan memerintahkan orang untuk tetap pada
bacaannya masing-masing, sesuai denga qira’at yang mereka bacakan itu. Sebab,
jika hal demikian dapat dibenarkan, berarti Allah Yang Maha Terpujui telah
memerintahkan dan memfardukan untuk melekukan sesuatu perbuatan tertentu dalam
bacaan orang yang bacaannya menunjukkan kefarduaannya, melarang dan mencegah
untuk melakukan sesuatu itu, dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan larangan
dan pencegahan , serta membolehkan secara mutlak untuk melakukannya, dalam arti
memberikan keleluasaan bagi siapa saja diantara hamba-hamba-Nya untuk melakukan
atau meninggalkannya di dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan pilihan.
Pendapat demikian, jika memang ada, berarti menetapkan apa yang ditiadakan
Allah Yang Maha Terpuji dari Al-Qur’an dan hukum kitab-Nya. Allah SWT
berfirman:
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di
dalamnya”.
(An-Nisa:82).
Peniadaan hal tersebut
(kontradiksi dalam Al-Qur’an) oleh Allah Yang Maha Terpuji dari semua Kitab-Nya
yang muhkam merupakan suatu bukti paling jelas bahwa Allah tidak menurunkan Kitab-Nya
melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua
makhluk-Nya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka.
Para
pendukung pendapat keempat memandang
bahwa mushaf-mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan
pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan
dalam bentuk tulisan. Seperti perbedaan dalam harokat sperti dalam ayat ayat ini dapat dibaca dengan bentuk jamak
ataupun mufrad dalam rusum Utsmani
ditulis dengan
huruf bersambung tetapi dengan mempergunakan alif kecil (harokat berdiri). Dan
seperti perbedaan dalam penambahan dan pengurangan huruf seperti mitsal dalam ayat yang dibaca pula dengan
menambahkan lafadz min .Dan ayat yang juga di baca dengan dengan
pengurangan kata . Dan perbedaan dalam taqdzim dan ta’khir
seperti dalam ayat yang dibaca juga dengan . Sedang perbedaan dengan ibdal
(pengganti) seperti dalam ayat yamg
di baca dengan .
Andaikata
perbedaan tersebut masih ada dalam mushaf Utsmani yang sekarang tentunya masih
banyak juga yang berselisih tentang masalah bacaan yang dulu di perselisihkan pada masa kholifah
Utsmani.
` Pendapat kelima yang menyatakan dengan
menghubugkan dengan hadits hadits bahwa tujuh huruf ini menyatakan bilangan dan
tidak bisa dinyatakan dengan harfiyah.
Pendapat keenam menyatakan bahwa tujuh
huruf ini ialah bacaan qiroath yang
tujuh(qiroqti sab’ah) namun pendapat inipun dapat dijawab bahwa Al-Qura’n ini
bukan bacaan melainkan wahyu yang diturunkan sebagai risalah dan mu’jizat.
Sedangkan qiro’at adalah perbedaan dalam cara pengucapan lapadz-lapadz wahyu
tersebut. Berkata Abu Symah “ Suatu umat mengira bahwa qiro’at sab’ah sekarang
adalah yang dimaksud dengan tujuh huruf.
Namun ini berbeda dengan pendapat dan kesepakatan para ahli ilmu.
Dalam
masalah ini telah jelaslah pendapat yang bisa di ambil adalah pendapat yang
pertama, pendapat ini pun di dukung oleh hadits:
“Dari
Ubai Ka’b, ia berkata: Rusulullah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya Allah SWT
memerintahkan aku unutuk membaca Qur’an dengan satu huruf.’ Lalu aku berkat:
‘Wahai T uhanku, berikanlah keringanan kepada umatku.’ Kemudian ia
memerintahkan kepadaku dengan firmanya: Bacalah dengan dua huruf. Maka ia pun
memerintahkan kepadu agar membacanya dengan
tujuh huruf dari tujuh pintu
surga, semuanya obat penawar dan memadai”.
At-Thobari
berkata: ” Yang di maksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa, sepeti
yng telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah ma’na-ma’na yang
terkandunng didalamnya yaitu: A’mr, Nahyu, Kisah dan masal yang jika seseorang
mengamalkanya sampai dengan batasan batasaya yang telah ditentukan, maka ia
berhak masuk surga.
D. HIKMAH TURUNNYA ALQUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Hikmah
diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Untuk memudahkan bacaan dan
hafalan bagi bangsa yang u’mmi, tidak
bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek massing-masing namun
belum terbiasa dan hafal syari’at, apalagi mentradisikannya. Hikmah ini
ditegaskan oleh beberapa hadits antara lain dalam ungkapan berikut:
Ubai berkata
“ Rosulullah bertemu dengan
jibril di Ahjarul mira, sebuah tempat di kuba, lalu berkata: ‘aku ini di utus
kepada umat yang u’mmi. Diantara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek –kakek
tua, dan nenek-nenek jompo’. Maka kata jibril ‘hendaklah mereka membaca
Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”
“ Allah memerintahkan aku untuk
membacakan Al-Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf. Lalu aku mengatakan wahai
tuhanku, berilah keringanan pada umatku”.
“ Allah memerintahkan engkau
untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu
dengan satu huruf. nabi menjawab ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan
magfiroh-Nya. Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu”.
2.
Bukti kemu’jizatan Al-Qur’an bagi
naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab. Al-Qur’an mempunyai banyak pola
susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam dialek bahasa yang telsh
menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat
mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi
watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Al-Qur’an
sebagai mu’jizat yang ditantangkan Rosulullah kepada mereka. Dan mereka tidak
mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemu’jizatan itu bukan
terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3.
Kemu’jizatan Al-Qur’an dalam
aspek ma’na dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan perubahan bentuk lafadz pada
sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang untuk dapat disimpulkan
daripadanya berbagai hukum. Hal ini yang menyebabkan Al-Qur’an relevan bagi
setiap masa. Oleh karena itu, para Fuqoha dalam istinbath dan ijtihad berhujjah
dengan qiro’at bagi ketujuh huruf ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
A. Dasar-dasar Pengambilan Al-Qur’an Diturunkan
dengan Tujuh Huruf.
Dasar pengambilan (Istinbath)
turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf disebutkan oleh beberapa Hadits, di
antaranya berikut ini.
1. Diriwayatkan
dari Ibn Abbas r.a. sesungguhnya ia telah berkata,bahwasanya Rasulullah
SAW.telah bersabda,
“Rasulullah berkata: ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku
dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf
itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan Tujuh Huruf’”.
(H.R. Bukhari-Muslim dan yang lainnya).
2.
Diriwayatkan dari Ali Ibn Ka’ab,
sesungguhnya ketika berada di pinggir sungai
suku Bani Gaffar Nabi bersabda, “Maka
datanglah Jibril kepadaku dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah
memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai satu
huruf”. Nabi menjawab, “Aku mohon
pengampunan-Nya karena umatku tidak mampu untuk menerimanya”. Kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya
dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
telah memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai dua
huruf”. Nabi menjawab lagi, “Aku
mohon pengampunan-Nya karena umatku tidak mampu untuk melaksanakannya”.
Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an
kepada umatmu dengan memakai tiga huruf”. Nabi menjawab lagi, “Aku mohon pengampunan-Nya karena umatku
tidak mampu untuk melaksanakannya”. Jibril datang untuk keempat kalinya dan
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT
memerintahkanmu untuk membaca Al-Qur’an kepada umatmu dengan memakai Tujuh
Huruf”. (H.R Muslim). Hadits-Hadits
yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah
diselidiki oleh Ibn Jarir, pembukuan (Mukadimah) kitab tafsir Ibn Jarir.
As-Suyuti menyebutkan bahwa Hadits-Hadits tersebut diriwayatkan dari dua
puluh orang sahabat. Abu Ubaid al-Qasim
bin Salam menetapkan kemutawatiran
Hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf.
B. Perbedaan Pendapat Para Ulama
Pendapat
pertama,
yang dimaksud dengan Tujuh Huruf adalah Lughat-Lughat suku Arab yang berjumlah
tujuh. Dalam arti, tujuh bahasa yang berbeda-beda dalam pengucapan satu
makna Al-Qur’an pun diturunkan dengan
sejumlah Lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu
itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu
Lafazh atau lebih saja. Kalangan Ulama ini pun berbeda pendapat dalam
menentukan Lafazh-Lafazh tujuh itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa tujuh
Lughat adalah Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hiwazan, dan Sa’ad bin Bakar. Di
samping pendapat lagi, masih banyak lagi pendapat Ulama mengenai tujuh bahasa
itu.
Pendapat
kedua, yang dimaksud dengan Tujuh Huruf adalah tujuh bahasa Arab yang
digunakan dalam keseluruhan Al-Qur’an. Dalam arti, Al-Qur’an tidak lepas dari
bahasa itu. Yaitu bahasa yang Fasih dikalangan bangsa Arab. Kebanyakan
Al-Qur’an menggunakan bahasa Quraisy, sedangkan sebagiannya menggunakan bahasa
Hudzail, Tsafiq, Haujan, Kananah, dan Yaman, karena itu maka secara keseluruhan
Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat
keetiga,
yang dimaksud Tujuh Huruf itu adalah tujuh
wajah, yaitu: perintah (arm),
larangan (nahy), ancaman (wa’di), argumentasi (jadl), kisah-kisah (qishah), dan perumpamaan-perumpamaan (matsal), atau perintah larangan halal, haram, muhkam, mutasyabih,
dan perumpamaan-perumpamaan.
Pendapat
keempat, Tujuh Huruf itu adalah tujuh bacaan. Abu Fadh Ar-Razi dalam
kitabnya Al-Lawaih menerangkan bahwa
ketujuh bacaan itu adalah:
1. Perbedaan Isim dalam segi format Mufrad
(singular tunggal), Mutsanna (tsaniyah), dan Jama’ (banyak).
2. Perbedaan dalam tasrif’ulaf’al (perubahan kata kerja) dari
bentuk Mudhari (future tense; present)
bentuk Madhi (past tense) dan bentuk
Amr (imperative).
3. Perbedaan dari segi Harkat.
4. Perubahan dari segi perubahan Harkat.
5. Perbedaan dari segi (naqsh)
dan tambahan (Ziyadah).
6. Perbedaan dari segi mendahulukan dan mengakhirkan.
7. Perbedaan dari segi Lughat (Lahjah), seperti fathah, imalah, tipis (Takhfif), tebal (Tarkhim),
jelas (Jaly), dan dengung (Idgham).
Pendapat kelima, Tujuh Huruf itu tidak
mengandung apa-apa, melainkan merupakan lambang orang Arab yang menunjukkan
sempurnanya sesuatu. Tujuh Huruf itu mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an dengan
memakai bahasa Arab dan susunan Arab telah mencapai derajat yang sempurna. Sebab, Lafazh sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk
menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, bilangan puluhan,
dan ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan
tertentu.
Pendapat keenam, bahwa yang dimaksud
Tujuh Huruf itu adalah Qira’ah Sab’ah.
C. ANALISIS PENDAPAT PENGERTIAN QIRO’ATI SAB’AH
Dalam
masalah ini telah jelaslah pendapat yang bisa di ambil adalah pendapat yang
pertama, pendapat ini pun di dukung oleh hadits:
“Dari
Ubai Ka’b, ia berkata: Rusulullah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan
aku unutuk membaca Qur’an dengan satu huruf.’ Lalu aku berkat: ‘Wahai T uhanku,
berikanlah keringanan kepada umatku.’ Kemudian ia memerintahkan kepadaku dengan
firmanya: Bacalah dengan dua huruf. Maka ia pun memerintahkan kepadu agar
membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga, semuanya obat
penawar dan memadai”.
D. HIKMAH
TURUNNYA ALQUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Hikmah
diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang
u’mmi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek
massing-masing namun belum terbiasa dan hafal syari’at, apalagi
mentradisikannya.
2.
Bukti kemu’jizatan Al-Qur’an bagi
naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab.
3. Kemu’jizatan
Al-Qur’an dalam aspek ma’na dan hukum-hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Khalil
Manna Al-Qatan, Study Ilmu Qur’an,
Litera Antar Nusa Halim Jaya Bogor 2009,
·
Anwar
Rosihon , Pengantar Ulumul Qur’an, CV
Pustaka Setia Bandung, 2009
·
Tafsir
Al-Qur’an, CV Penerbit DiPonegoro